Jumat, 20 Januari 2012

''Laut Mak Kita I''

telah lama melayat riak riak mu
bertemu tawar menyerak di tepian rindu
jejeran selembayung serupa mercusuar di apit jarak
memaku landai ilalang, tebing suaka, hutan larangan
dan kita sabukkan puak suak hilir ke hulu.
menghadap paras lekuk lautan kini
sebisu pelantar yang berendam menangkap kuyup
di sapa gemericik dedaun kering yang datang melaut
aku tetap saja bertamu.



{d}.Irwanto, 18 Januari 2012
Disalin ulang dari naskah catatan pribadi.

Minggu, 08 Januari 2012

Hutan Terakhir

dulu engkau pernah menawarkan belantara

berpagarkan pantang larang

bertepikan parut

mengemas kicau burung,

bunyi alir dan rimbun mimpi semalam





di pacak tepian mu

kelekatu kelekatu menganak sungai

berbagi jarak

lamunan ku pun berembun

menghitung beribu tugu





pori-pori sialang

mengintip hasut kota

bermajeliskan lampu-lampu

semak di pucat bulan itu

menidurkan lebat diperantauan.





Alfakir



Terbit di Pekanbaru Pos, 2012

Minggu, 01 Januari 2012

Membaca Bahasa Ibu

Mungkin kita sebagai penutur mempunyai peran dah tanggung jawab demi keberlangsungan bahasa lokalitas kita, prediksi kedepan mempertahankan atau apapun namanya menjaga bahasa tersebut memanglah tidak berlebihan, namun dengan adanya probabilitas yang ada, bisa saja hilangnya kearifan itu datangnya justru berawal dari rutinitas penutur penuturnya.

Hilangnya sebagian kosa kata, semisal tidak lagi digunakan menjadi ketakukan penuturnya, menempa masa depan nasib bahasa yang terus berdiaspora, adanya pakem deminasi bahasa yang terus bergelut, memberikan timbang-timbangan apakah masih bisa dipakai oleh penuturnya dari generasi ke generasi. Keberlangsungan akan intensitas bahasa tersebut sederhananya di tandai dengan terpenggalnya kata, atau satu kosa kata yang hilang, atau tidak dikenali lagi genarasi yang berikutnya, sehingga tiada salahnya hal-halnsederhananya itu dijadikan petanda.

Ironis memang, jika kita menimang-nimang bahasa lokal yang terus terpapar dengan adanya tabiat globalisasi bahasa semisal bahasa Nasional, lambat laun akan memberikan dampak yang bisa saja memberikan pengaruh dan nafas bagi kearifan akan bahasa lokal, ketakukan ini menjadi sesuatu yang normatif dan masih terselubung belum dibuktikan dengan penelitian yang empirik.

Kesadaran dalam membaca fenomena tersebut, pilihannya adalah Bahasa Nasional tetap dijunjung tinggi menjadi alat komunasi bahasa persatuan, walaupun bangsa ini memandang bahasa Melayu ini tidak awam seperti apa yang terjadi dalam lintasan sejarah terdahulu, karena sebenarnya keberagaman bahasa Melayu memang banyak corak ragamnya, namun sejarah telah memberitahukan ternyata tetap di topang dengan bahasa Melayu, saat ini Bahasa yang dimiliki berbagai negara tersebut sudah terpilih (Melayu/Indonesia) karena adanya akar bahasa dan di aminkan oleh bangsa yang katanya serumpun.

Bagaimanapun ada point penting yang mesti diambil dari membaca bahasa ibu, dan fenomena tersebut jika kita masuk kembali ke laman bahasa Melayu khususnya, tak bisa dipungkiri perbendaharaan keberagaman itu merupakan khazanah yang berlnilai untuk puak Melayu, maka kita akan dikenalkan lagi dengan sebutan bahasa pasar yang sering dan masih dipakai dan masih digunakan sampai saat ini, serta masih juga berlaku di lingkungan. Bahasa ibu tersebut bahkan tidak akan kita temui di KBBI atau Kamus lainnya, walau sedikit banyak padanannya pun masih bisa kita kaitkaitkan.

Peran deminasi tersebut memanglah ada, disini dibutuhkan strategi yang baik untuk keberlangsungan nasib bahasa ibu. sederhana berfikirnya tetap memakai saja khazanah bahasa Melayu itu. Tetapi, harus dengan strategi kekinian yang padu. Contoh yang pernah disampaikan oleh Abdul Malik.SPd,budayawan serta Pemakalah Melayu di Kep.Riau : "kata-kata tersebut bila diucapkan menggunakan lisan "pala" padahal semestinya ada huruf (R) maka kita jika mengacu kepada sistematika penulisan tertulis "palar". Itu artinye kita juga sudah menyelamatkan kata-kata tersebut secara kontinu".

Tidak bisa dipungkiri adanya kultur dan tabiat yang mendasar, bahwa orang-orang melayu kalau boleh saya berpendapat, lazimnya memiliki kekurangan atau samar-samar menyebutkan huruf (R), ini sah-sah saja berlaku di puak Melayu, jika kita berwisata dengan lintasan sejarah dan membaca dari orang-orang dahulu, misalnya kita merujuk pada zamannya Raja Ali Haji sastrawan Besar Melayu (RAH), pada kenyataannya, di rujuk dari perspektif sastra tulis yang berkembang sezamannya kefasihan menyebutkan huruf R itu memiliki keseragaman dan kesamaan dalam penyebutan kurang lebih samalah di zaman ini,

Kesamaran tersebut dalam kesehariannya menjadi sesuatu yang lazim, dari dahulu lagi awamnya bangsa ini telah menggunaan huruf-huruf Huruf Arab Melayu, kebiasaan menyebutkan misalkan huruf "Ghain/ Gho". dan dalam tulisan arab melayu pun kedua huruf tersebut sudah mewakili huruf R, entah ini benar atau tidak , penulis berpendapat ternyata ini merupakan kelemahan dari tulisan arab melayu , sehingga dalam lisan dan tulisan kebiasaan tersebut telah terjadi turun temurun,dan menurun secara genetik, terus kita didedahkan mengengekalkan pada huruf "Ghain/Gho/ Ra".

Namun upaya pengekalan bahasa ibu dalam lisan dan tulisan, sudah pun seimbang dan saling menutupi kekurangan, walau dalam alih bahasa menjadi abjad yang sekarang ini, telah mengalami penyesuaian yang telah sesuai dengan kesepakatan ranah kebahasaan, itu artinya untuk mengekalkan kata-kata yang sudah ada itu, merupakan sebuah strategi yang sederhana karena mereka juga tetap menuliskannya dalam tulisan yang lengkap, dengan bersabit hal demikian sampai detik ini pun upaya-upaya mendapatkan tempat (Umum) dalam strategi tersebut saya kira terus dilakukan.

Jadi tidak berlebihan terpulang lagi diberikan pilihan kepada penutur yang lain, dan sesiapa saja yang berkepentingan disana, tetap memilih menjaga bahasa lokalitas biar tetap eksis dan bergulir memapah zaman, bagaimana pun kita mesti arif membaca dominasi yang tetap ada, atau tetap diam tanpa melakukan apapun juga, semua itu membutuhkan sebuah kesadaran dan tindakan , karena bagaimanapun dengan adanya keberagaman ( Bahasa ) itu juga membuat Bangsa ini di akui dunia.

Bangsa ini memang besar di rekatkan oleh laut dengan beribu pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan hebatnya karena bahasa ( Melayu dan Bahasa Indonesia ) juga menjadi salah satu perekat bangsa yang besar ini tetap besar.

Tabek.
al Fakir
Irwanto,31Desember 2011