Minggu, 22 Juli 2012

Mufakat Yang Duabelas

Bila menyebut kata taman maka yang terbesit dilingkar kepala, kita akan divisualisasikan rupa-rupa yang indah-indah. Untuk menjemput keindahan yang ada didalamnya kita butuh saluran untuk mencapainya, Sederhananya saluran tersebut merupakan sebuah kerja-kerja akan seni, tanpa kasat mata tujuan orang melakukan kegiatan seni sejatinya untuk menghadirkan sebuah keindahan.

Perlunya menjemput keindahan yang sebati di laman bermain kolektif , semisal bagi orang-orang Melayu lazimnya bertaburkan akan simbol-simbol yang berpunca laman bermainnya dan mustahak untuk dijemput, jemputan itu disambut dan hendaknya terus digesa menantang gempuran penjuru mata angin globalisasi yang terus menerjang, karena apa, arah mata angin yang satu ini memberi ketakutan tersindiri.

Dalam menjemput misi kesejahteraan yang berorientasikan pembangunan, ianya memberikan kontribusi yang nyata dan dapat dirasa disekitar kita, lihat saja wujudnya gedung gedung , fasilitas jalan, pertokoan dan lain semacamnya, tabiat membangun yang masih ranum diingatan kita dan entah berapa kali pulau yang satu ini menjadi buah bibir orang, Pulau Dompak, ianya akan menjadi sebuah pusat pemerintahan Kepulauan Riau yang akan disulap menjadi bangunan yang dahsyat dan tak kalah seperti negeri tetangga, biarlah orang senantiasa membicarakannya semoga Pulau tersebut Bertuah dan terus menemukan tuahnya.


Persoalan membangun maka didukung dengan adanya ketersediaan aspek finansialnya, karena jaman sekarang yang kita anggap berduit dan dapat membangun adalah pemerintah, karena memang mereka yang berduit dan ditugaskan mengurus duit rakyat. kalau para pengusaha sewasta, Toke balak , konglimerat dan lain sebagainya. Bilamana dahulu pemerintah yang kita maksud ianya masih berbentuk kerajaan, sejak dahulu lagi pemerintah dan orang kaya/datuk kaya bersama-sama berkongsi memajukan negeri. Berada di jaman kekinian orang-orang kaya yang ada pun kiranya masih memegang amanah yang tak tersirat itu .


Membangun simbol simbol yang sejalan dengan larian tradisi dibutuhkan kekompakan persamaan maksud dan tujuan, dalam menjemput diaspora arsitektur bangunan misalnya, Simbol Ke-Melayu-an , upaya serta dukungan untuk terus menggemburkan tanah dan menyiraminya diperlukan kesadaran dari berbagai pihak. Mungkin upaya kerja seni tersebut kiranya dapat membuka kembali kesepakatan yang berlaku di Negeri Segantang Lada ini. Dan sebenarnya sudah difikirkan oleh para pensyarah kebudayan dan peneliti yang ada, misalnya Mufakat Dua Belas, Kebudayaan Melayu Antara Lembaga Adat Melayu Provinsi kepulauan Riau dan Provinsi Riau yang ditandatangani oleh Gubernur kedua Provinsi tersebut mungkin masih segar diingatan kita.


Mengutip Mufakat Dua Belas itu, penulis tertarik dengan pasal yang keempat: “Akan terus dilakukan upaya-upaya untuk menggalakkan dinamika pencarian dan penggalian dan menemukan simbol-simbol dan jati-diri kemelayuan di Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau sebagai bagian dari penafsiran dan daya-upaya mencari kebaruan-kebaruan serta kesamaan-kesamaan kebudayaan yang terus-menerus di kedua wilayah sesuai dengan semangat zamannya”.


Itulah pagar yang dipaku bersebelahan dengan tanaman yang ada ditaman yang indah-indah. Untuk menikmatinya manusia dikenal arif mengaktualisasikan kerja-kerja itu sehingga membentuk sebuah pintu yang senantiasa terbuka dan ianya disebut tradisi. Konsep penikmat atas kearifan itu tak ada salahnya kita tujukan kepada salah satu kelompok sosial yang satu ini, ya kalangan seniman dan budayawan, karena tanpa sadar dengan leguh legahnya mereka menjadi titik tumpu berlari dan terus berlari menuju larian tradisi yang entah kemana ujung pangkalnya.


Penggalian larian itu terus digali dan diperlukan dukungan oleh semua pihak, karna mengembangkan dan mengekalkan (melestarikan) seni-budaya Melayu Kepulauan Riau khususnya akan terus sama-sama dicari formulanya dan bersebati dengan air muka laman bermainnya. kira-kira siapa lagi yang hendak membantu berlari di larian tradisinya menemukan hala yang berpunca ?.


Jermat
Tanjungpinang, Juni 2012

1 komentar: