Senin, 28 November 2011

''Bermula dari Kesadaran''

Di mulai dengan kesadaran di mana tapak untuk mengadun laman dibukit sigau sempit pulau yang pernah menjadi aktor penting di laman Tamadun ini, membuat air takung Sastra yang meluap luap untuk senantiasa di alirkan, mengalir menyusuri celah muara merekam menapak terjang habis, dalam diam sunyi atau meranggas sekalipun.


Mungkin itu yang tergambar dan terekam di kepala hotak bilis bilis puaka yang sakti itu, bertelingkah menyusuri muara alir yang menempa masa zaman berzaman, tidak ada salahnya jika mereka pantas tersampok dengan puaka tanah amanat itu.


Tanah amanah yang jika di ceritakan menjadi seampaian jarak yang tak akan pernah habis di susur galurkan, semua itu bermula dengan adanya sebuah kesadaran, kesadaran mengenal apa yang ada di celik mata, tepi rumah, tepi longkang,tepi kampung, bahkan tepian tamadun yang tecagak di tengah-tengah sempit selat ini.


Tamadun bersusatra menjadi demam panas yang gigil di terpa, arah angin arus dan pasang surut di zamannya, Raja Ali Haji merasa seorang diri yang semput memapah habis batu karang, untuk mengalirkan takung sastra yang meletup-letup itu mengalir di muara tamadun Melayu ini, dengan berbekal empat kerat tulangnya tak leluasa di sigung kolonial, dapat pula membuat galian parit menggunakan pena untuk menulis, sehingga takung air itu dapat menerkam habis tanah kerikil yang senantiasa mengikat kebodohan, takung air yang resah itu terisi berbagai cita-cita, harapan bahkan tabiat ingin bebas sebebas kata dalam pemaknaannya.


Jika kita mudik kemuara lintasan sejarah, masih banyak lagi pendahulu kita berserai arai tumpat dan ranggi bertabiat sadar, semisal bermula dari kesadaran Raja Khalid al Hitami dalam kelompoknya, berusaha mengalirkan dualisme takung air sekaligus, takung ingin melepaskan diri untuk lepas mengayuh tanah amanah ini dengan marwahnya, serta berusaha melepaskan diri dari takung air bersusatra yang meledak-ledak di kepalanya, kayuh rentak orang-orang terdahulu dalam membuat celah itu telah menggambarkan kepada kita bahwa sejarah bukan hanya dapat menuai peristiwa namun dapat meberikan kita rentak kaki dan derap langkah prilaku orang-orang yang ada di zamannya.


Peranan perkumpulan orang terdahulu semisal di abad 19 dan di penghujung abad 20 ,kita sidaikan Ryusdiah Klub yang senantiasa ranggi mengulum-ngulum bahasa menjadi gula-gula yang manis dan sedap, memapah menjadi senjata yang jitu dalam mengumpat visi dan misi helahnya, walaupun dalam pepat malam badai datang menerpa silih berganti, kerja-kerja derap dan langkah kaki itu terus ranggi melawan bertabiatkan bahasa yang telah menjadikannya senjata rahasia.


Tak habis sampai di gerak ini saja, Dermaga Sastra di abad 20 keatas, memberikan denyut baru berisikan orang-orang yang piawai dan tunak dalam bertelingkah harap tanah ini, di katub dengan Suryatati A. Manan, dibelakangnya sudah menunggu generasi muda sakti yang siap meneruskan tali alur suaka ini, dan itu semua bukan sebuah impian sematai.


Bersabit dengan tingkah polah itu semua, wajarlah denyut demam bersusastra menjadi waris yang selalu menambatkan sampan di pelantar, untuk dihanyut dan dilayarkan, adanya "Pelantar Kusam" misalnya merupakan usaha dan kerja yang sederhana sekali berperan dalam membongkas habis celah takung air tersebut, sehingga kelak akan mengalirkan air takung kemuara tamadun ini.


Hendaknya bermula dengan kesadaran, sejak seperampat abad Raja Ali haji menulis Tuhfat Al Nafis atau Bustan Al Khatibin, atau malah berabad-abad dari sekarang semua itu tidak terlepas dengan adanya tabiat sadar, memberikan apa yang hendak di beri dari waris tak lurus sekalipun, gendang dan tabu bersusastra di tanah amanah ini untuk selalu di bunyikan memberikan semangat dan dorongan, dalam rangkaian yang sakti itu terus menerobos lembah yang lembab, ledah, lecah sampai ke muara indah.


Memberikan laman bermain yang baik kepada yang muda, adalah langkah awal mengenal lingkungan yang baik dari tapak ranggasanya, dari itu seharusnya dari dulu lagi untuk yang muda mestinya tambatan pelantar ini atau apepun namanya, mestinya ada di pelupuk mata.


Jika penulis diberikan ruang untuk memberikan hasut, engkau yang muda rebut segala mimpi, tuai segala angan, rengkuh semangat baru, nubuatkan di lembah ceruk dalam, tanamkan benih hingga menjalar di laman tamadun, hentakkan bunyi talibun waris kampung ini, hingga memekak di kota tetangga atau berderak-derak sampai di sekotah-kotah entah berantah, sidaikan semak samun, gali terus celah biar mengalir air takung itu, lata ku hunjamkan diri ;


"Selamat Ulang Tahun Pelantar Kusam".


al fakir.
Irwanto,November 2011

Nb: Catatan Buat Pelantar Kusam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar