Selasa, 01 November 2011

Tatahan Anasir Kahyangan

Beberapa waktu yang lalu sepulang dari Jakarta tempat dimana negeri yang selalu disibukkan dengan tabiat Demo, alias mesyuarat yang dah terujung, tabiat dimana orang lapar sepanjang suap, tabiat negeri berasap yang selalu berkenduri di tengah jalan dengan gumul macet sepanjang zaman, tabiat tesampok makhluk kayangan hingga melompat jauh kelangit, membuat mata, hati, hidung, telinga juga otak,letih dan penat, walaui disana ada juga harta karun bagi orang-orang yang mencari mimpi, leguh legah itu memperkuat tabiat rindu nak bertingkah melempar sigau di ujung tanjung,di pelantar kampung menjadi sesuatu yang normatif dan terbilang sehat dalam segi segau bentangan kerisauan.


Nuansa rindu angin, debar ombak dan udara lembab di ceruk kemudi primodial tanah asal atau kelahiran, menjadi talibun yang senantiasa tak penat di ungkai, selalu di pendam dan membuncah di lorong sempit renungan , menjadi hal yang kesumat senantiasa bersenggayut di pelupuk mata., apalagi bertembung dengan makhluk Tuhan yang dapat menegur dengan santun dan sopan, berpusu-pusu dengan jengah sigau budak-budak yang tak kenal diam dan berdiam diri dalam bentangan santun bersama akrobatik pendatang serantau.


Sesampai di bandara Hang Nadim nan megah, bandara yang berkelas di Kepulauan Riau, saban tahun selalu menjadi tempat pemberangkatan Jamaah Haji orang kampung kita,kampung tetangga atau kampung lain para pencari suaka ,bersaf-saf datang dengan segala tabiat datang,dengan sekotah-kotah orang itu entah kenapa mata ini berdengung-dengung, semangkin lama jika di tenung-tenung ada bendera suaka yang berkibar di sudut ceruk bandara ini semangkin lusuh dan berkarat, memberi coretan dinding penunjuk rumah seakan terasing dan inilah Aku(Melayu) terpasak di bawak pokok senduduk berada tak jauh dari pandangan orang kita.


Bendera dengan kibar malu tapi mau itu, menepis tudingan yang ranggi sebab tersebab sudahpun mengokah kemajuan beralaskan tapak tanah dan lubuk orang kampung kita, siapa yang tak hendak dengan fenomena kemajuan, bangga dengan kampung menjadi kota yang di tonton orang ramai, ditegun negeri seberang dan akhirnya kita dapat berlari menuju ujung dan tepian janji , kemajuan yang terus mara kedepan hendaknya dapat memberi rindu rinduan dengan kearifan lokal, dan kelak entah kapan dapat beriringan sekaki seayun selangkah segerak menjulang penanda atau simbol atau penunjuk suaka rumah kita, semisal dapat menitip tunjuk langit yang menunjuk langit memberi tahu inilah Aku.


Entah berapa kali kaki ini mengayun di gedung petak besar memanjang dengan lagaknya, beserta susunan pesawat terbang layaknya barisan langgam ikan bilis, serasa datang di kota kahyangan dengan tatapan modernitas, yang menurut kami fakir ini lamat-lamat tersebit ada kabur yang menunjuk rindu ceruk dengan nilai seni dengan dekorasi,simbol atau umbul-umbul nafsu puak kita, dimulai dengan bentuk fisik gedung ini pastinya sudah dimeja hijau kan semenjak gedung ini pertama kali diniatkan untuk dibangun, sehingga tak bisa di pungkiri mata pun akan menjadi hijau atau memang terlampau banyak mata hingga samar-samar dan susah memfokuskan, yang pasti disana juga ada orang kita sama-sama mempunyai titipan itu,atau entah juga orang kita ada tapi pada saat naik meja mereka gagap meneropong.


Sehingga saat ini dengan teropong mata batin sekalipun susah menemukan semisal lebah Bergayut, sebuah benda yang bersenggayut berwarna kuning lazimnya bersusun berasal dari kayu, atau kembang sedaun motif hiasan gedung atau rumah, ada juga siku keluang hiasan langit-langit gedung atau rumah , dan satu lagi tak kalah uniknya mungkin kita awam dengan keberadaan Awang Larat, lazimnya berada dikiri kanan berselonjor menjadi pertanyaan besar entah kenapa sebuah motif hiasan bunga yang terpancng keluar diselasar papan disebut dengan kata larat, entahlah kearifan nenek moyang kita yang pasti mempunyai segudang kitab filosofisnya.


Semua itu hanya sebagian penanda rumah atau bangunan publik yang membuat mata ini menjadi rindu, ya sekali lagi rindu akan penunjuk puak yang lumrahnya dulu ada tersebar di pulau Segantang Lada,bahkan adanya keberagaman dengan daerah-daerah lain seperti Riau yang sama-sama mempunyai mata yang sama dalam kepungan rindu ini,
Dan entah kapan mata ini diserakkan dengan penunjuk puak kita,entah itu dengan polesan atau modifikasi yang sedikit saja diberikan ruang aar dapat mencoret dinding laman ini dengan kanfas seni yang sudahpun dibekali orang-orang terdahulu,sehingga jika itu cantik dan bermakna maka dapatlah di ambil kira,jika buruk tak usahlah, namun yang pasti semua itu menurut kami yang fakir tidak ada salahnya memberi tapak ingatan akan hiasan rumah diruang tamu, beranda depan, beranda belakang atau tersebar di sudut-sudut rumah,sehingga tamu yang datang sudahpun tahu jika ia mengenal betul datang dirumah kita.


Kepulauan Riau,November,2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar