Rabu, 28 Maret 2012

Sahabat karibku dan Pagar Besi di Senanyan nanti

Hujan telah reda antrian bus menuju Kampus Salemba menjadi lautan simpatiasan orang-orang minyak, kami menyebutnya, bukan sejenis kolor hijau atau apalah, dideretan parkiran sepeda, Pakcik diajak seorang teman untuk ikut berdemo di senayan tadi sore, dan esok hari merupakan hari puncaknya. Almamater kami sama-sama bersetatus mahasiwa di Universitas Indonesia yang katanya nauzubillah itu, seorang budak pesisir Sumatra timur berkilah, mengajak Pakcik dengan sunguh-sungguh.


Sahabat karib pakcik sebenarnya merupakan salah satu orang yang setuju dengan adanya kenaikan harga BBM awal April nanti, berbanding terbalik dengan cita-cita mahasiswa lainnya. akan tetapi pakcik salut dengan dia, karena dalam hatinya ia ingin sekali ikut ke senayan untuk memegang pintu , menggoyang--goyangan pagar besi, apalagi pada saat yang bersamaan dirinya difoto, maklum atraksi yang katanya anarkis itu merupakan trends masa kini.

Jauh sebelum itu latar belakang pakcik mungkin sahabat karib itu belum mengenal lebih jauh, terkesan sombong dalam hatinya, tak apalah kan masa lalu, padahal dahulu juga ia sama seperti mereka namun dalam ruang waktu dan zaman yang berbeda.

Pakcik pernah menjadi ketua dari segerombolan beralmamater kaum intelektual atau organisasi tanpa partai, hanya dua minibus sahaja,tak banyak 30 orang cukup menguras beras 10 kg di warung tenda, sebelum selesai pakcik bercerita ia beraggapan tabiat demo adalah solusi masalalu dan masa kini, Pakcik menambahkan , tabiat yang disebutkannya tadi itu sama juga dengan membuang hajat, ya betul membuang hajat untuk orang banyak.


Tanpa disadari berdemo itu sama dengan membuang hajat ,ada kemiripan dengan sastrawan yang sedang berpuisi, bukan hanya teatrikal atau monolog, namun kitalah sang aktor film yang dari perfilemman tabiat berdemo itu, sejuta cerita sejuta makna dan wajah kaum intelektual yang semangkin beragam, jangan engkau menuding sang (aku) atau pakcik tak pro kepada rakyat atau menunda-nunda kontra kepada wakil rakyat.


Jalan-jalan protokol atau gang sempit ramai semakin menjadi lautan jaket-jaket almamater, mengibas ngibas umbul umbul dari paksi ke(aku)an organisasinya, jangan engkau menuduh aku kaum intelektual yang pengecut, atau Tomcat yang sedang naik daun tahun ini, percayalah akulah itu (Tomcat) atau (Iwak Peyek) yang gemar dikunyah rakyat saat menonton televisi adem ayem tersusun rapi, kita dituntut untuk berwajah pendidikan serta berlagak kaum intelektual masa depan, walau ke(aku)an engkau atau aku adalah dua hal yang berbeda, masa lalu terlalu romantis untuk kuceritakan padamu, sahabat karibku.



Kampus UI Depok.28 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar